Film dokumenter yang
masuk nominasi Film Dokumnter Terbaik Festifal Film Indonesia 2011 ini, adalah
sebuah karya dari Wisnu Adi yang diproduksi oleh Jive! Collection. Fim ini
menceritakan tentang nasib WNI yang tinggal diperbatasan antara Indonesia dan
Malaysia. Awal film ini agak membosankan. Sampai- sampai aku nonton sambil
menguap. Ini bukan karena filmnya yang enggak bagus, tapi sebaiknya disesuaikan
dengan mood dan harus agak serius. Tapi setelah pertengahan filmnya jadi seru.
Apalagi ketika fakta- fakta yang terungkap.
Secara garis
besar, ceritanya begini. Ada seorang guru yang bernama Marthini. Dia sendirian
mengajar di Sekolah Dasar. Mulai dari kelas 1 sampai kelas 6, ia tangani hanya
seorang diri. Di sekolah itu ia menjadi kepala sekolah, dan penjaga sekolah. Guru Marthini yang tinggal
di Desa Semangit harus melalui jalan sungai minimal 8 jam untuk sampai ke SD
tersebut. Kebutuhan sehari- harinya pun hanya ia dapatkan dari Malaysia.
Ada juga nasib
seorang mantri kesehatan yang bernama Kusnadi, tugasnya menjelajahi dusun-
dusun terluar di perbatasan Indonesia, mengobati penduduk yang sakit. Ia datang
dari satu dusun ke dusun lain untuk mengobati penduduk yang sakit. Seperti guru
Marthini, ia juga tak mengharapkan pamrih. Ia sudah senang jika melihat
penduduk sehat.
*Supplementary
Yang dibutuhkan
penduduk sebetulnya sederhana saja. Mereka ingin ada jalan yang enak dilalui
menuju desa mereka. Tapi, lihat yang terjadi. Lebih mudah jalan ke negeri jiran
ketimbang negeri sendiri. Alhasil, secara ekonomi penduduk tak bergantung pada
tanah dan airnya, tapi pada Malaysia. Setiap hasil tani dan ladang dijual ke
Malaysia. Akibatnya, mereka lebih kenal ringgit daripada rupiah. Selama ini,
kita berteriak dengan gaduh karena geram berbagai kesenian maupun budaya kita
diklaim Malaysia. Melihat film dokumnter ini, apa yang kita ributkan setiap
kali geram kepada Malaysia terasa konyol. Di tapal batas negeri kita, nyatanya
Malaysia lebih memberi penghidupan pada penduduk Indonesia. Kita beberapa kali
mendengar penduduk bersaksi lebih kenal Malaysia ketimbang Indonesia.
Dan ironisnya,
bahkan tidak sedikit penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan tidak tahu rupiah,
bahasa Indonesia, makna bendera, makna lambang garuda dan lagu Indonesia Raya
bahkan tidak pernah dengar!
Eh, tunggu dulu.
Aku mau minum.
Film ini
mengingatkan kita tidak usah mencela Malaysia. Persoalannya ada pada negeri ini
yang salah urus. Film ini memperlihatkan, bukannya membangun jalan, membelah
bukit dan hutan membuka jalur ke dusun- dusun terluar, atau sekedar memperbaiki
nasib guru, negara malah membangun perpustakaan yang belum diperlukan.
Di awal fim ini
kita mendengar Darius Sinathrya berujar, “Sebuah kisah harus dikatakan... sebuah kisah harus
didengarkan.... sebuah cerita harus dituliskan.” Memang
harus ada yang mengatakan dan memperlihatkan pada kita semua. Terutama orang
kota yang tinggal di sisi paling dalam, paling dekat dengan pusat kekuasaan
sebuah negeri bernama Indonesia. Sebuah potret saudara kita di sisi terluar
sana.
Pada titik ini,
film Cerita Dari Tapal Batas menemukan signifikansiya.
Guru Marthini says:
“Walaupun bagaimanapun saya ini tetap Warga Negara
Indonesia. Saya tetap cinta dengan Indonesia. Sekalipun saya berada di
perbatasan Malaysia ini. Malaysia- Indonesia. Seindah apapun Malaysia, saya
tidak mau mengakui bahwa itu negara saya.”
really nice review Nabilla!
ReplyDeleteMakasih Desi :D
Delete