Saturday, January 26, 2013

Review : Film Dokumenter ‘Cerita Dari Tapal Batas’




Film dokumenter yang masuk nominasi Film Dokumnter Terbaik Festifal Film Indonesia 2011 ini, adalah sebuah karya dari Wisnu Adi yang diproduksi oleh Jive! Collection. Fim ini menceritakan tentang nasib WNI yang tinggal diperbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Awal film ini agak membosankan. Sampai- sampai aku nonton sambil menguap. Ini bukan karena filmnya yang enggak bagus, tapi sebaiknya disesuaikan dengan mood dan harus agak serius. Tapi setelah pertengahan filmnya jadi seru. Apalagi ketika fakta- fakta yang terungkap.

Secara garis besar, ceritanya begini. Ada seorang guru yang bernama Marthini. Dia sendirian mengajar di Sekolah Dasar. Mulai dari kelas 1 sampai kelas 6, ia tangani hanya seorang diri. Di sekolah itu ia menjadi kepala sekolah, dan  penjaga sekolah. Guru Marthini yang tinggal di Desa Semangit harus melalui jalan sungai minimal 8 jam untuk sampai ke SD tersebut. Kebutuhan sehari- harinya pun hanya ia dapatkan dari Malaysia.
Ada juga nasib seorang mantri kesehatan yang bernama Kusnadi, tugasnya menjelajahi dusun- dusun terluar di perbatasan Indonesia, mengobati penduduk yang sakit. Ia datang dari satu dusun ke dusun lain untuk mengobati penduduk yang sakit. Seperti guru Marthini, ia juga tak mengharapkan pamrih. Ia sudah senang jika melihat penduduk sehat.


*Supplementary
Yang dibutuhkan penduduk sebetulnya sederhana saja. Mereka ingin ada jalan yang enak dilalui menuju desa mereka. Tapi, lihat yang terjadi. Lebih mudah jalan ke negeri jiran ketimbang negeri sendiri. Alhasil, secara ekonomi penduduk tak bergantung pada tanah dan airnya, tapi pada Malaysia. Setiap hasil tani dan ladang dijual ke Malaysia. Akibatnya, mereka lebih kenal ringgit daripada rupiah. Selama ini, kita berteriak dengan gaduh karena geram berbagai kesenian maupun budaya kita diklaim Malaysia. Melihat film dokumnter ini, apa yang kita ributkan setiap kali geram kepada Malaysia terasa konyol. Di tapal batas negeri kita, nyatanya Malaysia lebih memberi penghidupan pada penduduk Indonesia. Kita beberapa kali mendengar penduduk bersaksi lebih kenal Malaysia ketimbang Indonesia.

Dan ironisnya, bahkan tidak sedikit penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan tidak tahu rupiah, bahasa Indonesia, makna bendera, makna lambang garuda dan lagu Indonesia Raya bahkan tidak pernah dengar!

Eh, tunggu dulu. Aku mau minum.

Film ini mengingatkan kita tidak usah mencela Malaysia. Persoalannya ada pada negeri ini yang salah urus. Film ini memperlihatkan, bukannya membangun jalan, membelah bukit dan hutan membuka jalur ke dusun- dusun terluar, atau sekedar memperbaiki nasib guru, negara malah membangun perpustakaan yang belum diperlukan.

Di awal fim ini kita mendengar Darius Sinathrya berujar, “Sebuah kisah harus dikatakan... sebuah kisah harus didengarkan.... sebuah cerita harus dituliskan.” Memang harus ada yang mengatakan dan memperlihatkan pada kita semua. Terutama orang kota yang tinggal di sisi paling dalam, paling dekat dengan pusat kekuasaan sebuah negeri bernama Indonesia. Sebuah potret saudara kita di sisi terluar sana.

Pada titik ini, film Cerita Dari Tapal Batas menemukan signifikansiya.

Guru Marthini says:
“Walaupun bagaimanapun saya ini tetap Warga Negara Indonesia. Saya tetap cinta dengan Indonesia. Sekalipun saya berada di perbatasan Malaysia ini. Malaysia- Indonesia. Seindah apapun Malaysia, saya tidak mau mengakui bahwa itu negara saya.”

2 comments:

Cukup Kerjaan yang Pakai Target. Bacaan jangan :D

Beberapa bulan yang lalu, saya menonton salah satu youtube binaragawan kesayangan fitnesmania yakni Ade Rai. Padahal tidak ada riwayat sebel...