Saturday, November 10, 2012

Dongeng: Gadis yang tinggal dalam sebuah gua


Seorang gadis yang hanya memiliki seorang saudara laki- lakinya menyukai tempat tinggal dirinya dan orangtuanya. Ada sebuah sungai di dekatnya, tempat dia bisa mengambil air, dan tempat para hewan ternak keluarga tersebut menikmati rerumputan manis yang tumbuh di sepanjang tepi sungai. Pondok- pondok mereka terlindung dari terik matahari oleh dedaunan lebar yang rimbun dari pepohonan, dan pada malam hari akan betiup nan dingin dari bukit, yang membuat mereka merasa sejuk. Para pengelana, yang singgah untuk meminta air dari calabash (sejenis labu manis yang dikosongkan isinya dan kemudian dikeringkan bisa digunakan sebagai wadah tempat air) milik keluarga itu, akan berkata betapa daerah mereka sendiri begitu kering dan berdebu.

                Kemudian terjadilah suatu hal yang buruk, yang merusak kebahagiaan keluarga tersebut. Sang gadis pergi mengambil air di sungai dan sedang berjalan kembali ke pondoknya dengan membawa calabash besar di atas kepalanya. Tiba- tiba dia merasa tahu bahwa dirinya sedang diikuti. Awalnya dia tidak melakukan apa pun, tetapi kemudian, ketika perasaan itu makin kuat, dia berbalik dan melihat apa yang ada di belakangnya. Tidak ada apa- apa, walaupun rerumputan yang tinggi bergerak dan terdengar suara gemerisik, mirip suara yang ditimbulkan oleh sesuatu yang berlari melintasi semak- semak.
                Gadis itu melanjutkan perjalanannya. Setelah berjalan beberapa langkah, dia mendengar lagi sebuah suara. Kali ini dia berbalik lebih cepat, menjatuhkan wadah airnya ke tanah. Ada seorang lelaki dibelakang dirinya, merangkak, sebagian badannya berjalan di rerumputan, sebagian lagi nampak jelas.


                Gadis itu merasa takut saat melihat lelaki itu, tetapi dia berusaha tidak menampilkan rasa takutnya. Lelaki itu tersenyum kepadanya, dan berdiri.
                “Janganlah kamu takut kepadaku,” ujarnya.  “Aku hanya berjalan diatas rumput.”
                Gadis itu tidak mengerti mengapa seorang lelaki memilih berjalan di rumput, tetapi dia tidak berkata apa- apa. Lelaki itu menghampirinya dan menjulurkan tangan untuk menyentuhnya.
                “Kamu adalah gadis yang baik dan gemuk,” ujarnya.
                Gadis itu kini merasa gugup dan menjauh dari uluran tangan lelaki itu.
                “Rumah ayahku tidak jauh lagi,” kata gadis itu. “Aku dapat melihat asap dari perapiannya.”
                Lelaki itu memandang ke arah pondok- pondok itu.
                “Kalau begitu,” sahutnya, “Aku dapat pergi bersamamu menuju rumah ayahmu agar aku bisa meminta sedikit makanan.”

                Gadis itu berjalan di depan lelaki tersebut dan segera mereka tiba di serangkaian pondook yang melingkari sebatang pohon. Di sana lelaki asing itu menunggu di gerbang sementara si gadis memasuki pondok dan berkata kepada ayahnya bahwa di sana terdapat seorang lelaki yang yang ingin meminta sedikit makanan. Sang ayah keluar, memanggil lelaki itu, dan mengundangnya untuk duduk  di salah satu batu di bawah sebatang pohon. Makanan pun disiapkan oleh ibu si gadis dan diberikan kepada lelaki tersebut. Dia menerimanya, dan menaruh semuanya sekaligus ke dalam mulutnya. Kemudian dia menelannya, dan seluruh makanan itu pun lenyap. Gadis itu belum pernah melihat seorang lelaki makan dengan cara seperti itusebelumnya dan bertanya- tanya mengapa dia sangat kelaparan seperti itu.

                Setelah lelaki itu makan, dia berdiri dan mengucapkan selamat tinggal kepada sang ayah. Dia memerhatikan sekelilingnya sebelum pergi, seakan mencoba mengingat bagaimana wajah keluarga tersebut dan apa saja yang mereka miliki. Kemudian dia pergi dan segera tertutupi oleh rerumputan tinggi yang tumbuh di situ.
                Gadis itu bergegas berdiri di samping ayahnya.
                “Itu tadi adalah lelaki yang sangat jahat,” ujar sang ayah. Aku sangat menyesal dia mengunjungi tempat ini.
                Sang ayah menggelengkan kepalanya dengan sedih.
                “Sekarang, karena dia telah kemari,” tambahnya, “maka kita harus pergi. Aku akan menyuruh saudara laki- lakimu untuk mengumpulkan alas tidurnya dan bersiap- siap agar kita pergi ke tempat lain.”
Gadis itu tidak memercayai bahwa keluarga tersebut akan meninggalkan tempat yang telah mereka tinggali selama ini dan yang sangat dia cintai. Dia berusaha membujuk ayahnya untuk tetap tinggal, tetapi sang ayah sangat yakin bahwa mereka berada dalam bahaya besar jika tetap tinggal di sana.
                “Lebih baik pergi sekarang,” kata ayah, “daripada menyesal kemudian.”
                Gadis itu menangis, tetapi air matanya tidak diacuhkan oleh ayahnya. Segera saja sang ayah mengangkut seluruh barang milik keluarga itu di punggungnya dan memanggil yang lain untuk mengikutinya.
                “Aku tidak akan mengikuti ayah,” ujar gadis itu pasti. “Aku telah bahagia di tempat ini dan tidak melihat alasan untuk pindah.”
                Ibu gadis itu memohon agar si gadis ikut pergi, tetapi gadis itu menolak. Akhirnya, ayahnya jadi tidak sabar.
                “Jika kamu harus tetap di sini,” ujarnya, “setidaknya kamu harus pergi dan tinggal dalam sebuah gua di sisi bukit. Ada sebuah tempat disana yang memiliki sebuah batubesar yang dapat digunakan sebagai pintu. Pada malam hari kamu harus menggeser batu itu dan tak membiarkan seorang pun memasuki gua.”
                Gadis itu menyetujuinya karena dia mengetahui gua tersebut. Gua itu nyaman dan sejuk, dan dia merasa akan bahagia di sana. Setelah anggota keluarga yang lain menghilang di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke tempat baru mereka, dia membawa alas tidur dan semua periuknya ke dalam gua dan menyusunnya di bagian belakang gua. Kemudian, karena hari mulai gelap, dia menggeser batu itu agar menutupi pintu gua. Di dalam gua tersebut gelap gulita, tetapi gadis itu merasa aman dan dia pun tidur nyenyak pada malam pertamanya di sana.

Keesokan harinya, saudara laki- laki gadis itu mengunjunginya, untuk melihat bagaimana keadaannya. Dia menceritakan tentang betapa nyamannya berada di dalam gua dan betapa lelap tidurnya semalam.
                “Aku aman di sini,” jelasnya. “Batu itu menutupi mulut gua dan aku tidak akan membukanya untuk siapa pun.  Jika kamu datang, kamu harus menyanyikan lagu ini dan aku akan tahu bahwa kamu datang.”
                Gadis itu kemudian menyanyikan sebuah lagu pendek, yang didengarkan oleh anak lelaki itu. Saudaranya pun mengingat lirik tersebut di dalam kepalanya karena dia berencana mengunjungi gadis itu di malam hari untuk memastikan bahwa saudarinya aman dan batu itu berfungsi sebagai pintu yang cukup kuat.
                Sore itu, saat dia kembali, hari sudah mulai gelap. Saat mendekati gua, dia menyanyikan lagu yang telah diajarkan gadis itu:
                Ada sebuah batu di sini dan gua tampak gelap; Bukalah gua ini, saudariku, dan izinkan aku masuk.
                Saat gadis itu mendengar lagu tersebut, dia langsung tahu bahwa saudaranya berada di luar gua. Dia mendorong batu tersebut dan menggesernya ke sisi yang lain. Saudara lelakinya puas setelah mengetahui bahwa lagu itu berfungsi dengan baik dan saudarinya selamat. Dia memberikan makanan yang dibawanya dan kemudian berpamitan.
                “Pastikan bahwa kamu menggeser batu itu kembali setelah aku pergi,” pesannya.
                “Aku akan mengingatnya,” ujarnya saudarinya. “Seorang gadis tidak dapat tinggal dalam gua seperti ini sendirian kecuali dia memiliki sebuah batu sebagai pengaman.”

Saudara lelaki itu datang kembali hari berikutnya, dan hari setelahnya. Apda kunjungannya yang ketiga, ada sesuatu yang membuatnya khawatir. Tidak jauh dari gua itu, dia memerhatikan adanya jejak kaki di tanah dan tak jauh dari situ tergeletak sebatang tulang yang telah dikunyah. Dia mengambil tulang itu dan mengamatinya. Siapa pun yang telah memakannya pasti memiliki nafsu makan yang besar karena giginya yang telah menusuk sampai menembus tulang untuk mengeluarkan sumsumnya. Jejak kai itu juga berukuran besar, dan pemandangan tersebut membuat saudara lelaki itu merasa tidak nyaman.
                Dia tiba di muka gua dan mulai menyanyikan lagunya. Saat melakukannya, dia memiliki perasaan aneh  seakan ada seseorang yang telah memerhatikan dirinya. Dia berbalik, tetapi yang dia lihat hanyalah angin yang bertiup melalui rerumputan kering dan seekor burung pelatuk hijau yang mengitari langit. Dia menyelesaikan lagu itu, dan si gadis pun menggeser batu untuk memberi jalan bagi saudara lelakinya untuk memasuki gua.
                “Aku ingin kamu datang dan tinggal bersama keluargamu lagi,” pintanya kepada gadis itu. “Kami sedih karena kamu tidak bersama kami.”
                “Aku juga sedih,” jawabnya. “Tetapi aku terlalu mencintai tempat ini hingga tak sanggup untuk meninggalkannya. Mungkin suatu hari ayahku akan memutuskan untuk kembali kemari.”
                Anak lelaki itu menggelengkan kepalanya. Dia tahu bahwa ayahnya tidak akan kembali karena ayahnya telah menyukai tempat yang dia datangi. Segera kenangan mengenai tempat ini akan menghilang dan keluarga itu tidak akan membahas tentangnya lagi.
                Anak lelaki itu makan bersama saudarinya dan kemudian pergi. Saat pergi, dia kembali merasa bahwa seseorang memerhatikan dirinya. Tetapi sekali lagi yang dia dia lihat hanyalah angin dan seekor ular kecil yang bergerak seperti anak panah hitam melintasi dedaunan kering di tanah.

Lelaki yang menyebabkan keluarga itu meninggalkan tempat tersebut adalah seorang kanibal. Sekarang dia telah mendengarkan anak lelaki itu menyanyikan lagu khusus kepada saudarinya di dalam gua dan dia telah menghafalkan liriknya. Di bawah sebuah pohon besar yang tidak jauh letaknya, dia berlatih lagu yang dinyanyikan anak lelaki tadi. Suaranya terlalu kasar, dan dia menyadari bahwa tak akan ada satu gadis pun yang cukup bodoh untuk memercayai bahwa itu adalah suara adik lelakinya.
                Kanibal itu menemukan cara untuk menghadapi masalah ini. Dia menyalakan api, dan di atas api itu dia meletakkan beberapa batu. Kemudian, setelah batu- batu ini membara, dia meletakkan batu- batu itu ke dalam mulutnya dan membiarkannya membakar organ- organ tenggorokan yang menghasilkan suara. Setelah beberapa menit, dia meludahkan batu- batu tersebut dan mencoba bernyanyi lagi. Batu- batu itu telah bekerja dengan baik, seperti yang diharapkannya, dan kini suaranya selembut suara anak lelaki tadi.
                Di dalam gua, gadis itu tengah bersiap- siap untuk tidur di alas tidurnya saat dia mendengar saudaranya bernyanyi di luar gua. Mengejutkan baginya bahwa saudaranya kembali begitu cepat, tetapi kemudioan dia ingat bahwa saudaranya telah meninggalkan calabash di dalam gua dan mungkin kembali untuk mengambilnya. 
                “Aku datang, saudaraku,” sahut gadis itu. “Batu itu akan bergerak dan memberimu jalan masuk.”

Saat mulut gua setengah terbuka, gadis itu menyadari bahwa bukan saudaranya yang berdiri di luar gua. Saat dia melihat kanibal itu, jantungnya berdegup ketakutan, dan dia berjuang untuk menggeser batu itu kembali. Kanibal itu terlalu cepat dan telah menangkapnya sebelum dia dapat menutup mulut gua.
                Gadis itu berteriak saat kanibal tersebut mengangkatnya dan mulai mengikat tangan dan kakinya menggunakan tali yang dibawanya. Kemudian, setelah dia terikat kuat, kanibal itu menuju sebuah tempat yang tak jauh letaknya dan mulai membuat perapian untuk memasak gadis itu dan kemudian memakannya. Saat dia membuat perapian, dia menyanyikan sebuah lagu khusus, jenis lagu yang dinyanyikan para kanibal, yang menceritakan bagaimana seorang kanibal malang yang kelaparan telah menemukan seorang gadis gemuk di dalam sebuah gua.

                Gadis itu menangis tersedu- sedu memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Dia menangis untuk ayah dan ibunya, yang tak akan dijumpainya lagi, dan dia menangisi kebodohannya yang mencoba untuk tinggal di tempat yang berbahaya. Melalui air matanya, dia menyanyikan sebuah lagu sedih, mengenai bagaimana seorang gadis yang tinggal di dalam gua telah ditangkap oleh seorang kanibal yang kejam.
Anak lelaki itu merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam perjalanannya ke rumah, maka dia kembali ke gua. Kini dia sedang bersembunyi di rerumputan, mendengarkan lagu sedih saudarinya. Saat dia melihat kanibal itu membungkuk di atas perapian, anak lelaki itu bergegas maju dan mendorongnya ke dalam api. Berbagai macam kulit yang dikenakan kanibal itu pun segera terbakar api dan dia berlari tunggang langgang, sambil mengeluarkan teriakan ganjil.
                Anak lelaki itu melepaskan ikatan saudarinya dan kemudian mengantarnya ke tempat baru ayahnya. Malam itu, sang gadis mengatakan kepada ayahnya apa yang telah terjadi. Dia khawatir akan keputusan anaknya, tetapi kini dia lega bahwa anaknya selamat. Dia juga lega mendengar bahwa kanibal itu telah pergi, yang berarti keluarga itu dapat kembali ke tempat yang telah membuat mereka sangat bahagia, dan gadis itu tahu mereka akan bahagia kembali.


                 

1 comment:

Cukup Kerjaan yang Pakai Target. Bacaan jangan :D

Beberapa bulan yang lalu, saya menonton salah satu youtube binaragawan kesayangan fitnesmania yakni Ade Rai. Padahal tidak ada riwayat sebel...