Kamu lebih suka baca
buku lewat ebook atau buku fisiknya?
Saya
yakin para penggemar berat baca buku, pada jawab buku fisik. Meski ebook lebih
praktis, tinggal download-baca di hape atau tab (sekarang siapa sih, yang kemana-mana ga
bawa gadget?) dibanding menjinjing atau memegang buku dengan resiko berat dan
kelupaan di suatu tempat. Namun setidaknya membawa buku lebih keren ketimbang
gadget dan lebih aman dari para penjambret. Ga ada cerita kriminal kan,
seseorang menjambret buku? Dan ada banyak perasaan sewaktu kita membaca buku
fisik yang tidak kita dapatkan di ebook.
Seperti menghirup dalam-dalam aroma buku
sebelum dibaca?
Membaca
nama-nama yang ikut berpartisipasi dalam buku? Siapa yang menerjemahkan,
editor, desain sampul, tahun pertama terbit yang versi originalnya (jika buku
terjemahan) serta cetakan ke berapa?
Merasakan
lembaran-lembaran buku? Ada yang halus, kasar, kertasnya ringan.
Buku yang
dipersembahkan untuk siapa?
Ada lho, orang yang kayak
gini.
Dan itu semua tidak
didapatkan dalam ebook. Apalagi jika ebook tersebut bukan dikeluarkan secara legal.
Langsung ke bab I biasanya.
Membaca lewat ebook
juga dengan cepat membuat mata lelah. Bagi yang terbiasa menyelesaikan membaca
dengan berjam-jam, siap-siap saja pusing setelah itu.
Tapi banyak buku yang
sudah ga diterbitkan lagi namun ada ebooknya. Yeah, meski bukan originalnya.
Terutama novel-novel classic abad 20 ke bawah. Kita bisa terbantu dengan adanya
ebook. Walau rata-rata bahasa yang digunakan bahasa inggris (novel terjemahan),
sangat jarang ebook dari luar ada terjemahan bahasa indonesianya. Kecuali novel
itu sudah benar-benar dikenal. Seperti Sherlock Holmes, Agatha Christie, Enid
Bylton dan (silahkan tambah sendiri).
Banyak pertimbangan
dari penerbit mengapa buku-buku classic (atau buku tahun keluarnya sudah lama)
tidak diterbitkan lagi. Salah satunya pertimbangannya karena biaya. Mau produksi
satu-dua atau puluhan ribu, biayanya produksinya tetap sama. Jadi sayang, kalau
hanya segelintir orang yang meminta diterbitkan lagi namun biaya yang
dikeluarkan tidak sebanding. Bahkan bagian terburuknya tidak laris.
Jadi, buku tebal yang
sekarang kamu lihat (apalagi yang hardcover), mungkin di tahun-tahun yang akan
datang, sudah ga dicetak lagi. Seperti buku Stalin ini.
Oh ya, mungkin akan dicetak
lagi buku-buku classic atau yang sudah lama terbitnya, tapi palingan yang dicetak ulang hanya buku-buku yang membuat nama besar
pengarang tersebut. Misalnya Nicholas Sparks dengan The Notebook, Victor Hugo
dengan Les Miserables, Louisa May Alcott dengan Little Womennya. Karya mereka
yang lain? Yeah, begitulah. Bagaikan mencari jarum ditumpukan jerami. Siap-siap
saja pasang telinga dan mata. Menunggu keajaiban. Menunggu orang menjual
buku-yang-ga-diterbitkan-lagi, mencari di toko loak, atau impor.
Seperti ayahku, beliau
rela-ga rela harus menjual buku Karl Marx 1, 2 dan 3 kepada sahabat karibnya. Karena
ayahku butuh uang waktu itu. Perlu diketahui buku Karl Marx sudah a long long
time ago ga dicetak. Meski ayahku sudah baca, ada kebanggan tersendiri jika
kita memiliki buku lama yang sudah ga diterbitkan tapi masih dicari-cari orang.
Dan dalam sekejap buku itu sudah berpindah kepimilikan. Saya yang gregetan
sendiri lihatnya. Hehe.
Jadi, kalau suatu saat
kamu lihat buku yang kamu pingiiiinn banget (apalagi kalau bukunya hardcover
dan setebal kamus), beli saja. Nanti ga diterbitkan lagi lho~ apalagi kalau
kamu lihatnya di toko buku yang punya nama besar di seluruh Indonesia (If you
know what I mean), toko buku itu hanya memajang buku dengan waktu bulanan saja.
Seperti saat itu saya beli edisi novel Prom Night From The Hell, dua bulan
berikutnya saya kembali mau beli edisi lainnya, sudah ga ada. mungkin, omset
buku tersebut lambat pergerakannya. Jadi, bye-bye see you in gudang. Buku baru
dengan siap menggantikan posisinya.
{Inspirasi dari ayahku.}
Sumber gambar : www.quora.com
www.listcrown.com
www.bookoopedia.com
Aku suka baca baik itu lewat gadget atau buku fisik, sih sebetulnya. Soalnya dua-duanya juga punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Hehehe.
ReplyDeleteKalau saya tergantung ketebalan buku dan jenisnya. Hehe. Kalau tipis 200 ke bawah ebook, kalau 300 ke atas paper book (._.v)
DeletePernah tuh sekali baca novel nya agatha christie (versi ebook) yang pembunuhan abc kalo gak salah. Baru baca satu jam mata udah perih panas semua ><
ReplyDeleteAgatha Christie baru download ebooknya tapi belum sempat ku baca. Sekitar 300 halaman kan? Wajar kalo mata yang sejam menatap layar ga istirahat jadi gitu
DeleteI vote for paper book! Lebih suka baca buku fisik ketimbang e-book. Apalagi aku tipe orang yg ga bisa berhenti baca meskipun udah berjam-jam baca. Kalo bacanya e-book cepet capek. :)
ReplyDeleteSetuju. Sependapat. Sesamaan :))
DeleteKalo aku sih lebih suka yang paper book, lebih cepat dibaca dan kalo baca buku itu, terlihat keren, gue setuju, yang enak dari paperbook adalah aromanya.cihuy bgt deh
ReplyDeleteApalagi kalau buku yang dibaca dijinjing kemana-mana, bukunya tebal dan kualitasnya oke. Wuih, dobel kerennya. Suka cium aroma buku juga ya? Aromanya enak :D
DeleteGue suka dua2nya, paperbook lebih enak dibaca kapan aja tanpa lelah.
ReplyDeleteKalo e-book karna ga repot bawa buku yang tebel hehe
Kadang saya baca ebook kalau cerita macam Lupus yang ga tebel-tebel amat. Kalau tebel lebih ke paper book. Huehuehue
DeleteKeduanya punya kelebihan masing2. Cuman yang klasik itu biasanya lebih greget, feelnya lebih dapet. Makanya aku lebih pilih buku cetak.
ReplyDeleteWih asik juga ya jual-beli buku gitu. Haha.
Kalau buku classic enaknya memang ke paper book. Apalagi kalau dijinjing kemana-mana, duh keren banget :]
DeleteAsyik apanya? Sayang kali bukunya dijual .-.
dua-dua nya ada kelebihan dan kekurangan, tapi sejauh ini saya lebih suka bentuk fisik karna lebih enak dan seru pas baca nya, beda lagi kalo bentuk ebook cepet bosen walaupun saya suka maenin gadget.
ReplyDeleteKalau bacanya lewat gadget (hape kah?) kadang suka tergoda buka yang lain. Atau terganggu dengan notif. Ya ga?
Deletekalo aku suka banget baca bentuk fisiknya
ReplyDeletesentuhan di tiap lembarnya itu yang juga bikin betah bacanya
*kebetulan aku matanya minus, jadi ga bisa lama-lama di depan layar. hhehhe
Kalau saya suka yang kertasnya kasar trus ada bintik-bintik cokelatnya. Hehe
DeleteAku lebih suka buku fisik. Bawaannya gimana gitu. Betul, yang kamu tulis. Menghirup aroma buku baru atau buku lama, aku suka. *asal jangan menghirup lem aja haduh* Lagipula, aku gak punya gadget pribadi untuk baca buku elektronik... Ya walaupun kadang2 minjem gadget karena mau nggak mau baca buku elektronik hanya karena buku fisiknya sulit sekali ditemukan.
ReplyDeleteAku follow blogmu, bolehkah follow balik? Terima kasih ya :))
Kalau baca ebook, bacanya di laptop orangtua. Hehe. Kalau di hape, suka berat karena hapeku bukan android tapi dipaksa jadi android, jadi sering hang :v
DeleteSudah ku follback :))
Aku lebih suka buku cetak, enak bacanya. Kalo baca di layar gadget, mata suka sakit.
ReplyDeleteBertambah yang setuju nih :3
DeleteAku gak mau komen tentang opsi e-book atau paperbook. Tapi aku mau komen tentang ayahmu.
ReplyDeleteBeliau keren ya bacaannya. Setauku Karl Max itu pencetus teori dialegtika. Keren. :D
Silahkan.
DeleteKarl Max namanya sering ku dengar berkaitan dengan sosiologi. Teori dialegtika? Aku tak tau nak :3