Friday, February 6, 2015

E-book Vs Paper Book


Kamu lebih suka baca buku lewat ebook atau buku fisiknya?

Saya yakin para penggemar berat baca buku, pada jawab buku fisik. Meski ebook lebih praktis, tinggal download-baca di hape atau tab (sekarang siapa sih, yang kemana-mana ga bawa gadget?) dibanding menjinjing atau memegang buku dengan resiko berat dan kelupaan di suatu tempat. Namun setidaknya membawa buku lebih keren ketimbang gadget dan lebih aman dari para penjambret. Ga ada cerita kriminal kan, seseorang menjambret buku? Dan ada banyak perasaan sewaktu kita membaca buku fisik yang tidak kita dapatkan di ebook.

 Seperti menghirup dalam-dalam aroma buku sebelum dibaca?
Membaca nama-nama yang ikut berpartisipasi dalam buku? Siapa yang menerjemahkan, editor, desain sampul, tahun pertama terbit yang versi originalnya (jika buku terjemahan) serta cetakan ke berapa?
Merasakan lembaran-lembaran buku? Ada yang halus, kasar, kertasnya ringan.
Buku yang dipersembahkan untuk siapa?
Ada lho, orang yang kayak gini.


Dan itu semua tidak didapatkan dalam ebook. Apalagi jika ebook tersebut bukan dikeluarkan secara legal. Langsung ke bab I biasanya.

Membaca lewat ebook juga dengan cepat membuat mata lelah. Bagi yang terbiasa menyelesaikan membaca dengan berjam-jam, siap-siap saja pusing setelah itu.

Tapi banyak buku yang sudah ga diterbitkan lagi namun ada ebooknya. Yeah, meski bukan originalnya. Terutama novel-novel classic abad 20 ke bawah. Kita bisa terbantu dengan adanya ebook. Walau rata-rata bahasa yang digunakan bahasa inggris (novel terjemahan), sangat jarang ebook dari luar ada terjemahan bahasa indonesianya. Kecuali novel itu sudah benar-benar dikenal. Seperti Sherlock Holmes, Agatha Christie, Enid Bylton dan (silahkan tambah sendiri).

Banyak pertimbangan dari penerbit mengapa buku-buku classic (atau buku tahun keluarnya sudah lama) tidak diterbitkan lagi. Salah satunya pertimbangannya karena biaya. Mau produksi satu-dua atau puluhan ribu, biayanya produksinya tetap sama. Jadi sayang, kalau hanya segelintir orang yang meminta diterbitkan lagi namun biaya yang dikeluarkan tidak sebanding. Bahkan bagian terburuknya tidak laris.
Jadi, buku tebal yang sekarang kamu lihat (apalagi yang hardcover), mungkin di tahun-tahun yang akan datang, sudah ga dicetak lagi. Seperti buku Stalin ini.

Oh ya, mungkin akan dicetak lagi buku-buku classic atau yang sudah lama terbitnya, tapi palingan yang dicetak ulang hanya buku-buku yang membuat nama besar pengarang tersebut. Misalnya Nicholas Sparks dengan The Notebook, Victor Hugo dengan Les Miserables, Louisa May Alcott dengan Little Womennya. Karya mereka yang lain? Yeah, begitulah. Bagaikan mencari jarum ditumpukan jerami. Siap-siap saja pasang telinga dan mata. Menunggu keajaiban. Menunggu orang menjual buku-yang-ga-diterbitkan-lagi, mencari di toko loak, atau impor.

Seperti ayahku, beliau rela-ga rela harus menjual buku Karl Marx 1, 2 dan 3 kepada sahabat karibnya. Karena ayahku butuh uang waktu itu. Perlu diketahui buku Karl Marx sudah a long long time ago ga dicetak. Meski ayahku sudah baca, ada kebanggan tersendiri jika kita memiliki buku lama yang sudah ga diterbitkan tapi masih dicari-cari orang. Dan dalam sekejap buku itu sudah berpindah kepimilikan. Saya yang gregetan sendiri lihatnya. Hehe.

Jadi, kalau suatu saat kamu lihat buku yang kamu pingiiiinn banget (apalagi kalau bukunya hardcover dan setebal kamus), beli saja. Nanti ga diterbitkan lagi lho~ apalagi kalau kamu lihatnya di toko buku yang punya nama besar di seluruh Indonesia (If you know what I mean), toko buku itu hanya memajang buku dengan waktu bulanan saja. Seperti saat itu saya beli edisi novel Prom Night From The Hell, dua bulan berikutnya saya kembali mau beli edisi lainnya, sudah ga ada. mungkin, omset buku tersebut lambat pergerakannya. Jadi, bye-bye see you in gudang. Buku baru dengan siap menggantikan posisinya.

{Inspirasi dari ayahku.}

Sumber gambar : www.quora.com
www.listcrown.com
www.bookoopedia.com



22 comments:

  1. Aku suka baca baik itu lewat gadget atau buku fisik, sih sebetulnya. Soalnya dua-duanya juga punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Hehehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau saya tergantung ketebalan buku dan jenisnya. Hehe. Kalau tipis 200 ke bawah ebook, kalau 300 ke atas paper book (._.v)

      Delete
  2. Pernah tuh sekali baca novel nya agatha christie (versi ebook) yang pembunuhan abc kalo gak salah. Baru baca satu jam mata udah perih panas semua ><

    ReplyDelete
    Replies
    1. Agatha Christie baru download ebooknya tapi belum sempat ku baca. Sekitar 300 halaman kan? Wajar kalo mata yang sejam menatap layar ga istirahat jadi gitu

      Delete
  3. I vote for paper book! Lebih suka baca buku fisik ketimbang e-book. Apalagi aku tipe orang yg ga bisa berhenti baca meskipun udah berjam-jam baca. Kalo bacanya e-book cepet capek. :)

    ReplyDelete
  4. Kalo aku sih lebih suka yang paper book, lebih cepat dibaca dan kalo baca buku itu, terlihat keren, gue setuju, yang enak dari paperbook adalah aromanya.cihuy bgt deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apalagi kalau buku yang dibaca dijinjing kemana-mana, bukunya tebal dan kualitasnya oke. Wuih, dobel kerennya. Suka cium aroma buku juga ya? Aromanya enak :D

      Delete
  5. Gue suka dua2nya, paperbook lebih enak dibaca kapan aja tanpa lelah.
    Kalo e-book karna ga repot bawa buku yang tebel hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kadang saya baca ebook kalau cerita macam Lupus yang ga tebel-tebel amat. Kalau tebel lebih ke paper book. Huehuehue

      Delete
  6. Keduanya punya kelebihan masing2. Cuman yang klasik itu biasanya lebih greget, feelnya lebih dapet. Makanya aku lebih pilih buku cetak.
    Wih asik juga ya jual-beli buku gitu. Haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau buku classic enaknya memang ke paper book. Apalagi kalau dijinjing kemana-mana, duh keren banget :]
      Asyik apanya? Sayang kali bukunya dijual .-.

      Delete
  7. dua-dua nya ada kelebihan dan kekurangan, tapi sejauh ini saya lebih suka bentuk fisik karna lebih enak dan seru pas baca nya, beda lagi kalo bentuk ebook cepet bosen walaupun saya suka maenin gadget.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau bacanya lewat gadget (hape kah?) kadang suka tergoda buka yang lain. Atau terganggu dengan notif. Ya ga?

      Delete
  8. kalo aku suka banget baca bentuk fisiknya
    sentuhan di tiap lembarnya itu yang juga bikin betah bacanya

    *kebetulan aku matanya minus, jadi ga bisa lama-lama di depan layar. hhehhe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau saya suka yang kertasnya kasar trus ada bintik-bintik cokelatnya. Hehe

      Delete
  9. Aku lebih suka buku fisik. Bawaannya gimana gitu. Betul, yang kamu tulis. Menghirup aroma buku baru atau buku lama, aku suka. *asal jangan menghirup lem aja haduh* Lagipula, aku gak punya gadget pribadi untuk baca buku elektronik... Ya walaupun kadang2 minjem gadget karena mau nggak mau baca buku elektronik hanya karena buku fisiknya sulit sekali ditemukan.

    Aku follow blogmu, bolehkah follow balik? Terima kasih ya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau baca ebook, bacanya di laptop orangtua. Hehe. Kalau di hape, suka berat karena hapeku bukan android tapi dipaksa jadi android, jadi sering hang :v

      Sudah ku follback :))

      Delete
  10. Aku lebih suka buku cetak, enak bacanya. Kalo baca di layar gadget, mata suka sakit.

    ReplyDelete
  11. Aku gak mau komen tentang opsi e-book atau paperbook. Tapi aku mau komen tentang ayahmu.

    Beliau keren ya bacaannya. Setauku Karl Max itu pencetus teori dialegtika. Keren. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silahkan.

      Karl Max namanya sering ku dengar berkaitan dengan sosiologi. Teori dialegtika? Aku tak tau nak :3

      Delete

Cukup Kerjaan yang Pakai Target. Bacaan jangan :D

Beberapa bulan yang lalu, saya menonton salah satu youtube binaragawan kesayangan fitnesmania yakni Ade Rai. Padahal tidak ada riwayat sebel...