Gara-gara Mengejar Bus
Minggu
lalu, tepatnya hari Jumat. Jurusanku mengadakan baksos sebagai rasa syukur
karena pengukuhan HIMADEGRA sukses dilaksanakan di Pantai Bira. Tapi tidak semua pergi juga,
hanya yang mau saja. Di kelasku yang ikut hanya tujuh, dengan saya.
Acara
baksos-nya hanya sampai tigaan. Trus teman-teman dan seniorku pada mau balik ke
kampus. Sebenarnya malas juga balik. Kayak, ngapain gitu balik sudah ga ada
kegiatan. Tapi berhubung saya hanya menumpang, saya ngikut.
Sementara
perjalanan balik ke kampus, tiba-tiba ada bus kota lewat. Fandy nyelutuk
"Pengen naik ini deh"
"Eh,
ayo!"
"Ha?"
"Iya,
ayo! Motornya parkir disini saja"
"Ha?!"
dia tambah kaget. Tapi ujung-ujungnya tetap parkir.
Saat
sedang berjalan cepat menuju halte, busnya langsung jalan.
IH.
Fandy
yang baru datang dari tempat parkiran hanya melongo.
"Eh,
eh kejar busnya!" ucapku panik sambil menarik-narik tasnya.
Kita
langsung kembali ke tempat parkiran dan pergi secepatnya. Selain untuk mengejar
bus, kami juga menghindari bayar parkiran. Mumpung tukang parkirnya ga
ada.
"Dimana
lagi haltenya?" tanyanya
Ada
di depan-depan. Terus saja" padahal saya juga tidak yakin apa di depan
masih ada halte atau tidak.
Dari
halte yang di jalan Perintis Kemerdekaan, kami ke daerah fly over. Jaraknya lumayan
jauh, apalagi cuacanya sangat panas dan sedikit macet. Ya, sedikit..
"Halte-halte!"
tunjukku kegirangan.
Fandy berhenti trus celingak-celinguk cari
tempat parkiran.
"Parkirnya disini
saja" saranku.
"Jangan. Nanti
hilang."
Saya hanya manggut-manggut.
"Begini, kamu
tunggu disini. Saya cari parkiran dulu."
"Oke"
Saya lalu berdiri di halte. Menunggu bus
dan menunggu Fandy kembali.
JENG..JENG.. BUSNYA DATANG
Dari jauh pun Fandy sudah berlari-lari kecil. Detik-detik saat saya berbalik ke arah bus, BUSNYA GA SINGGAH. IH.
“Mana bus-nya?” dia datang sambil ngos-ngosan.
“Ada tadi. Tapi tidak berhenti”
“Tapi bus-nya sempat
berbelok sedikit kan? Kenapa tidak suruh singgah?”
“I..iya sih. Tapi, yang
kayak begituan kan bukan kayak angkot yang tanganku mesti digoyang-goyangkan.
Maksudku, bus kan akan singgah secara otomatis kalau ada halte”
Kami terdiam.
"Beli es, deh" ajaknya.
Akhirnya kami makan es di dekat halte. Tiba-tiba saya tertawa. Dia heran tapi ikut tertawa kecil. Saya kembali tertawa dengan frekuensi cukup lama.
“Ih, malah ketawa”
Saya semakin tertawa.
“Jadi
mau kemana?” berhubung juga masih jam tiga.
“Ke
Benteng!” jawabku cepat.
“Bagaimana
kalau ke tempat yang dingin-dingin?”
“Mall?”
“Bukan.
Cafe-cafe gitu”
“Kalau
di cafe, kita harus beli.”
Kami pun bersiap ke Benteng setelah menghabiskan es teler. Tapi sebelumnya kami singgah pinjam helm dulu.
“Katanya jangan takut sama polisi..”
“Tapi ga gitu juga.
Benteng kan daerah kota. Sarangnya polisi”
Saya hanya manggut-manggut.
Setibanya di Benteng, kami muter-muter
trus kembali duduk-duduk sambil cerita-cerita. Menjelang matahari tenggelam,
dia bilang "Ayo ke sana" tunjuknya ke arah dinding-dinding Benteng
yang menghadap ke arah jalan raya serta beberapa kawasan kuliner dan wisata.
"Ayo"
Saat dia sudah berhasil naik dan duduk di
pinggir Benteng, dia bingung kenapa saya tidak naik.
"We naik ko"
Saya diam. "Dari sini juga kelihatan
mataharinya"
Dia lalu tertawa terbahak-bahak.
"Jangan bilang kalau tidak bisa ko naik"
"Ih, bisa na"
"Teruuss?"
Akhirnya saya naik dengan cara yang dia
anggap lucu. Sambil melihat matahari terbenam, kami kembali bercerita kembali.
“Nanti
kalau saya punya uang, saya mau beli baju baru biar modis-modis sedikit. Trus beli
parfum, make up, trus trus masuk ke salon. Hahaha”
“Iyo,
soalnya cu’mala (kucel) ko . Hahaha”
Menjelang maghrib, kami pun pulang dan
singgah mengembalikan helm. Trus balik ke rumahku untuk makan malam sekalian
numpang wi-fi gratisan. Sementara dia online, saya tidur-tiduran. Guling-guling
ngantuk disitu.
“Pulang deh. Ka
kau tidur ko”
“Makanya ajak bicara kek”
Tapi ujung-ujungnya saya juga ngobrol
kayak orang ngigau
wahhh,, udah anak kuliahan ya.. XoXo
ReplyDelete